Blog Novel

Penulis

image
Hai,

Nama Saya Sabina Meilani

Menulis sebuah cerita fiksi/khayalan penuh emosional dan konflik yang biasa terjadi dikehidupan nyata. aku penulis bebas,memiliki imajinasi luas dan juga masih remaja bila prosa atau majas bersalahan mohon letak kritikan halus agar bisa menjadi lebih baik.

salam cinta--Segala kisah--


Education
Sekolah di

Medan


Hobby
Menulis

Novel

Membaca

Novel

Menonton

Anime


My Skills
Menulis
Membaca
Cosplay
Make Up

Bab 8 -- pertemuan


Bab 8-- Pertemuan--
bisakah kita menjalin hubungan dengan baik?
jangan ada lagi dendam karena sungguh aku telah lelah menjadi budak kemarahan tanpa alasan.
 ada alasan namun tak cukup kuat untuk menyatakan bahwa itu  penyebab dendam ku,
lalu apa yang sebenarnya membuatku marah?
jangan ada lagi dendam karena sungguh aku telah lelah menjadi budak kemarahan tanpa alasan. ada alasan namun tak cukup kuat untuk menyatakan bahwa itu  penyebab dendam ku, lalu apa yang sebenarnya membuatku marah?
mengapa hati ini sangat membingungkan.


|

PoV Adeline
|
|
| Setelah mendapatkan izin dari Emily, Aku langsung bergegas keluar untuk mencari tempat yang menyediakan telepon umum. Kuselusuri kota Admeta dengan tubuh berbalut baju tebal karena cuaca disini sangat dingin membuatku mau tak mau harus berpakaian berlapis-lapis seperti ini.
 Mata hitamku menjelajahi setiap seluk besuk isi kota tanpa ada yang terlewati, sungguh ramai orang disini meski sudah larut malam. Atau bisa jadi semakin malam semakin ramai. Lama ku mencari, akhirnya dapat juga disana depan Swalayan. Maka kaki melangkah kesana.

Kumasukkan koin dan menekan tombol-tombolnya untuk menghubungi 
Dia.
Suara panggilan tunggu terdengar nyaring dari telepon genggam ini membuatku merasa harus bersabar menanti jawaban. “Halo?  hal yang ku nanti-nantipun akhirnya telah tiba. Dia menjawab teleponku

Temui aku dikota Admeta, didepan Swalayan terbesar dikota.Ucapku cepat lalu mematikan telepon dengan meletakkannya kembali, tanpa membiarkan Dia berbicara lagi.
Hanya ada satu swalayan terbesar dikota ini dan sangat terkenal, tidak mungkin Zayn tidak mengetahuinya kan? mengingat hobinya yang senang sekali berbelanja ke seluruh pusat perbelanjaan terkenal.



Bokongku menyapa lembut kursi dingin didepan swalayan ini, menatap pemandangan kota yang ramai sembari menunggu Diadatang. Aku memandang sendu kearah kerumunan orang-orang disana membuatku teringat kejadian dimasa lampau saat mereka juga berkumpul seperti ini, seketika dada terasa nyeri dan sesak. Aku benci keramaian. Gumanku pelan.

1 jam telah berlalu dan orang yang kutunggu masih tak kunjung datang membuatku menghembuskan nafas dan berdiri dari kursi dingin itu bergegas untuk pulang. Namun saat kaki mulai melangkah menjauh, sebuah tangan menarik dan membawa tubuhku kedalam pelukannya. Erat, begitu erat.

Kau baik-baik saja?!kemana kau selama ini? Aku khawatir padamu suara serak pilunya memenuhi indra pendengaranku membuat tangan tak tahan untuk membelai surai hitamnya lembut berusaha menenangkan tubuh yang sudah bergetar hebat.

Aku baik-baik saja. Balasku membuatnya sedikit tenang. Sudah, jangan nangis lagi Zayn. Ujarku dianggukin olehnya. Aku melepas pelukannya dan menatap sesosok pria tampan berambut hitam dan memiliki bola mata merah darah yang sendu namun memabukkan.
 Kuelus pipinya dan tersadar kalau Zayn datang kemari hanya memakai kaos tipis, segera ku lepas mantel ku yang mungkin akan pas jika Zayn memakainya,Kota Admeta adalah kota yang memiliki cuaca dingin, harusnya kau tau itukan? Kenapa kemari hanya memakai pakaian tipis begitu? jelasku yang diakhiri pertanyaan saat aku menyodorkan sebuah mantel kepadanya.

Kenapa dia begitu ceroboh hari ini?-- ucapku dalam hati saat melihat kecerobohan Zayn yang tidak membawa mantel, karena percayalah dia adalah tipe Siap siaga. Ia dapat membaca situasi, namun mengapa hari ini tidak?

Tidak perlu,aku gak butuh del.Tolak Zayn membuatku ingin protes namun segera ia potong ucapanku, “Aku bawa mobil,kalau kita masuk kedalam sekarang maka aku gak bakal kedinginan.Tukasnya sambil menunjuk kearah mobil mahal berwarna merah ditrotoar sebrang. Alis ku saling bertautan saat melihat mobil yang asing bagiku, Itu mobilmu? tanyaku dianggukinnya. Mendengar pernyataannya membuatku menghela nafas, aku lupa dia boros.

  Kami menyebrang dan memasuki mobil untuk segera menghangatkan tubuh lantara udara diluar sangatlah dingin, Zayn pun mulai menjalankan mobil pelan. Sepanjang jalan tidak ada satupun kata yang terlontarkan untuk memulai menciptakan kecangunggan luar biasa.

Zayn memanggilku Adel?
Iya. Sahutku
Zayn menatap serius jalanan namun dia seperti ingin memalingkan wajahnya kearah ku untuk berbicara, tapi tampaknya tanpa saling bertatapan ia akan mengucapkan sesuatu. Aku menemukan mayat seorang pria bertubuh gemuk mati dihutan yang membawamu pergi dari rumah.ucapnya
Dan…” Zayn memberi jeda
Aku membakar mayatnya namun sebelum itu aku ambil tanda pengenalnya dan mencari tau dengan siapa dia bekerja.Jelasnya menimbulkan rasa pusing dan emosi melandaku saat mendengar itu, mengapa ia membakar mayat yang seharusnya masih bisa dikuburkan dengan layak sebab tubuhnya masih utuh dan dapat dikenali. Tapi kini? Pasti sudah terpanggang atau juga menjadi abu.

Ternyata cerobohnya bukan hanya soal pakaian tapi juga soal membakar tubuh pria itu-- pikirku

Kenapa kau lakukan itu Zayn? tanyaku dingin yang diabaikannya membuatku kembali membuka mulut. “Hal itu terlalu kejam Zayn, tid…” belum selesai kalimatku terlontar, Zayn memotongnya.
Apapun hal yang menyangkutmu membuatku tidak bisa berfikir jernih. Hari ini aku tidak pakai mantel karena mendengar teleponmu aku langsung pergi tanpa memikirkan hal apa yang akan terjadi seperti biasa begitu juga saat membakar pria itu ketika aku tau dia telah membawamu yang menyebabkan kecelakaan dihutan membuatku murka saat berfikir pasti kau juga terluka parah sebab mobil itu bahkan hampir tak lagi berbentuk.Ucap Zayn penuh amarah sehingga ia memukul-mukul setir dengan frustasi. Suatu mukjizat kau bisa selamat dan cobalah untuk mengerti del. kalau aku khawatir denganmu. imbuhnya membuatku mematung setelah mendengar semua itu.

Tapi mengapa?-- tanyaku dalam hati., entah mengapa aku merasa sedikit senang saat menyadari kalau didunia ini masih ada yang peduli denganku seperti Emily,Zayn,Billy dan Saskia. Hanya mereka yang berani mendekat meskipun telah mengetahui masa lalu kelamku.

  Tak lagi ingin membahas hal itu, kualihkan topik pembicaraannya namun masih sekitar pria buncit itu. Jadi apa yang kau temukan dari tanda pengenalnya?tanyaku mengalihkan, Zayn berdehem dan mulai menjelaskan. Pria itu bernama Gerald yang bekerja di perusahaan gelap berinisial L dengan simbol L terbalik, aku mempunyai contoh logonya. Zayn mengeluarkan handphonennya kemudian menunjukkan simbol L terbalik dan dia kembali melanjutkan kalimatnya, Pemilik perusahaan ini memakai nama samaran Logan Adham disitusnya. Hanya nama tanpa foto atau biodata lainnyatambahnya membuatku berfikir keras.

Orang tua ku ingin menikahkanku dengan dia yang memiliki perusahaan gelap. Apa mereka tau atau tidak dan lagipula seiingatku meskipun mereka dingin terhadapku tetapi diam-diam sebenarnya memperhatikan, Namun tetap saja ketakutan kembali menelan kepedulian itu berkali-kali mengubahnya menjadi kebencian. Jadi intinya tidak mungkin ia memakai identitas jahatnya pasti pria itu akan berpura-pura jadi orang baik agar bisa melabuhi orang tuaku.
 Dan sebenarnya tujuan dia membunuhku itu apa?
 Adel? suara zayn menarik jiwaku kembali dari lamunan. Apa yang kau pikirkan? tanyanya
ku abaikan pertanyaannya kemudian menatap kedua kakiku untuk kembali berfikir.
 Tentang langkah pertama yang harus aku lakukan adalah mengetahui identitas yang pria itu pakai saat menemui Ibu dan Ayahku.
Kedua adalah mencari tau lebih dalam untuk menemukannya dan meminta segala penjelasan beserta tujuan dia membunuhku itu apa. Zayn bisakah kau tanya sama ibuku pria seperti apa yang melamarku?pintaku masih menatap kaki sambil mengelus dagu.

Aku sudah menanyakannya kemarin. jawabnya sontak membuatku penasaran, “Lalu apa katanya?tanyaku lagi.
Ibumu hanya diam dan membuang muka, aku rasa dia pria yang buruk jawab Zayn seakan bisa membaca isi pikiranku. Dan ternyata prediksiku salah. “Kalau gitu bisa aku meminta tolong sesuatu padamu lagi?Zayn menganggukan kepalanya walau terlihat sedikit ragu.

Ku ceritakan dahulu tentang kecelakaan itu kemudian pertemuanku dengan Emily dan Ariana yang mempunyai seorang kakak laki-laki mirip dengan masa laluku dan terakhir yaitu rencana yang telah aku susun semalaman penuh. Ada beberapa rencana yang membuat Zayn menolak membantuku bahkan melarangku untuk melakukannya namun bukanlah Adeline namanya kalau tidak keras kepala, maka sangat amat terpaksa ia harus mengangguk menurut pada ku.

Kalau tidak berhasil? tanya ragu
Tenangaku hanya akan kehilangan nyawasetelah aku mengatakan hal itu Zayn spontan memukul kepalaku keras dan berteriak, Jangan bodoh!masih ada jalan la…” belum usai ia menyelesaikan kalimatnya, aku memotong Aku hanya bercanda.
Wajah zayn yang tadinya sempat mengeras kini sudah kembali semula, Gak lucu.kesalnya dengan rona merah dipipinya membuatku terkekeh kecil, namun hanya semut yang mampu mendengarnya. Jadi kau ingin pulang kerumahku atau Emily? tanyanya
Emily saja. jawabku dicibir olehnya. “Ck!Padahal rumahku lebih nyaman.
Zayn mengantarku pulang saat malam sudah begitu larut, kami memang sengaja agar Emily tidak mempergokkin ku jalan bersama Zayn yang nantinya akan menimbulkan ribuan pertanyaan aneh.  Kini kakiku melangkah masuk kerumah dan langsung kekamar untuk berbaring disamping Emily yang sudah tertidur pulas.
  Semenjak kami tinggal bersama, semua hal harus saling berbagi termasuk tempat tidur yang termasuk lumayan kecil ini. Aku rasa membeli  tempat tidur  baru yang lebih besar daripada ini.Gumanku pelan seraya mengganti posisi tidur menjadi meringkuk layak janin dan mulai menutup mata berusaha menenggelamkan diri kedalam mimpi. sambil tersenyum.
"Masih banyak yang peduli padaku." ucapku terakhir kali sebelum dunia lain menelanku kedalamnya.



Pagi menyambut dengan senantiasa, menyorot mata memakai sinar terang benderangnya hingga  berkedip-kedip cepat membiasakan silau yang mengancam buta. Dapat kulihat sebuah bayangan dibalik tirai yang kukira malaikat dan benar--Malaikat maut. “Bangun!capek ya?abis dari mana semalam? suara merdu biasanya berubah menjadi cempreng yang menyakiti gendang telingaku. Aku masih ngantuk.
  Wanita itu mendecak tak suka. “Tch!bangunlah, dan bersiap-siap sekarangtitahnya mencoba menghilangkan rasa kantukku namun sia-sia karena tubuh ini masih setia menempel manja ditempat tidur, ku lirik jam dinding dan menghembuskan nafas kesal “Apa kau gila? ucapku sambil menunjuk kearah jam dinding. Masih ada waktu 5 jam lagi sedangkan ini masih jam 7 pagi dimana ayampun masih enggan berkokok.

Emily menggeleng Tidak!lebih cepat lebih baik,lagian aku butuh banyak waktu untuk mencoba beberapa pakaianku untukmu ujarnya dengan cengiran kuda menimbulkan perasaan tidak enak. Sangat tidak enak.
 Sesungguhnya aku menyesal tinggal disini.Selorohku disahutin gelak tawa Emily, “Hahahaayolah ini gak seburuk yang kau pikirkan ia berusaha menyakinkanku yang entah mengapa memicu rasa curiga semakin besar.

Dia menarikku dan memaksa agar segera mandi, dengan berat hati aku melangkah kekamar mandi kemudian langsung mengguyur seluruh tubuh untuk mendapati sensasi mengigil.
Mengapa aku suka sekali menyiksa diri sendiri?

30 menit bagiku untuk membersihkan diri dan keluar dari kamar mandi yang langsung disambut oleh puluhan baju kekurangan bahan menciptakan rasa merinding menjalar keseluruh tubuh, “Are you kidding me?” ucapku tak percaya dengan sambutan menjijikkan itu. Emily menggeleng, Just try this.
titahnya membuatku mengambil salah satu baju kemudian mencobanya.

Satu persatu telah ku coba namun tidak ada yang cocok. “Maaf, sepertinya tubuh indahku menolak pakaian mu Meljenaka ku diabaikan oleh Emily yang berjalan menjauh dan membuka lemari selepas itu ia mengambil satu gaun bewarna emas tak mencolok,panjangnya dibawah lutut dan memiliki kerah yang begitu mengekspor dada jika dipakai.

 Pakailah. Emily menyodorkan bajunya padaku

namun aku masih saja tak bergeming

 “Pakai ini Adeline.ujar Emily mulai tak sabar

Aku masih diam tak merespon,hanya menatapnya datar

 “Pakai atau kupecat dari cafe?
Pilihan itu begitu manjur untukku. Pada detik berikutnya aku langsung merebut pakaiannya lalu berjalan menghentak, masuk kekamar mandi untuk memakai baju itu. “Aku tidak mau dipecat karena butuh uang untuk membeli tempat tidur baru. keluhku pelan mengingat betapa tersiksanya tubuh ini saat bergelut manja dikasur mini Emily.


Setelah aku memakai gaun itu dan keluar dari kamar mandi, hal yang pertama kali kulihat adalah tatapan kagum dari Emily. Sangat cocok!serunya memuji

tanganku mengoyang-goyangkan gaun bagian bawah. Aku rasa tidak.
mendengar itu Emily mendengus kesal. Kenapa kau susah sekali dipuji,Tch!  Emily mencibir dan aku mengabaikannya kemudian segera pergi menuju cafe, karena sebelum kerumah Ariana masih ada waktu untuk bekerja setengah hari dicafe. Aku tentunya tidak akan sudi kalau gaji bulan ini terpotong. Kasur baru harus kudapatkan secepatnya.

 “Ayo berangkat,nunggu apalagi?ajakku sudah diambang pintu

 “Ini masih terlalu pagi untuk bekerja Del. ujarnya seraya menunjuk kearah arloji ditangan kanannya.

 “Harusnya aku yang mengatakan itu, ini masih terlalu pagi untuk bersiap-siap kerumah Ariana.Ralatku seraya memutar bola mata kesal, namun diabaikan Emily dengan wajah tak bersalah yang sekarang memasang cengiran kuda.
 Terserahlah dengan dia yang tidak mau ikut kecafe, aku bisa berangkat sendiri. Aku duluan.pamitku yang dianggkuin Emily. Aku tau mengapa ia tidak bersiap-siap sedari tadi karena Emily sibuk menyiapkan baju untukku dan lupa dengan dirinya sendiri, padahal ini hanya pertemuan biasa bukan sebuah kencan.

Ku akui baju yang sedang kukenakan ini sangat manis meski mengekspos punggung mulusku namun sangat pas ditubuh sehingga nyaman saat dipakai. Tapi entah mengapa saat Emily memberikan baju ini, aku menangkap sorot mata sedih. Apa baju ini special? Ah terserahlah lagipula dia yang memberikannya.
Langkah demi langkah tanpa sadar aku sudah sampai dicafe yang memiliki jarak tak jauh dari rumah dan sungguh aku bersyukur akan hal itu. Seseorang menyapa setelah aku masuk kedalam cafe.
 Hai! Adelinesapa salah satu pekerja disini dengan tag name --Joe-- kepadaku dengan ramah membuatku mau tak mau harus memasang senyum tipis dan melambaikan tangan. Hai juga Joe.Balasku berusaha tidak dingin. Tapi aku salut sama Joe yang pagi-pagi gini sudah stay dicafe membuatku iri dengan kerajinannya itu.

Joe melihatku dengan wajah heran seperti mencari-cari sesuatu, biar kutebak dia pasti mencari Emily. Dimana emily? benarkan.
Aku mengangkat bahu. Mungkin dia telat.
selepas itu Joe pun mengangguk ngerti dan kembali bekerja--membereskan meja,kursi dll sedangkan aku memakai celemek dahulu demi menghindari kotornya baju pinjaman ini kemudian mencuci piring dilanjutin dengan menyapu, membantu Joe karena hanya ada kami berdua disini tanpa Emily. Cafe sederhana ini hanya perlu 3 anggota tak lebih dan kurang lantaran kalau terlalu banyak maka dapat kupastikan mereka hanya akan menyemak saja.

Waktu terus berjalan hingga jam menujukkan pukul 12 siang, dimana Ariana akan menjemputku sebentar lagi. Emily juga sudah datang walau ia datang disaat semua sudah bersih, dia benar-benar menguji kesabaranku.

--Po’v Adeline end--

*****

Gadis berbaju emas yang sedang duduk manis menunggu jemputan itu kini melamun, lamunannya bukan sekedar pikiran kosong melainkan didalamnya berisi tetang susunan rencana yang 89% akan berhasil. Ia benar-benar mantap dengan segala keputusan yang telah ia ambil dan sekarang adalah waktunya untuk menempuh jalan itu agar ia tak perlu lagi melarikan diri dan memilih jalan pintas.

Sebuah lonceng berbunyi dan tepukan dibahu menarik paksa jiwa Adeline kedalam raga. Sudah lama menunggu?tanya anak perempuan yang memakai kaos oblong dan celana santai karena ini hari minggu dimana ia terbebas dari baju sekolahnya yang memuakkan.
 Tidak juga. Sahut Adeline menjaga nada bicaranya agar tetap lembut.
 Kalau gitu ayo pergi. Ajaknya membuat Adeline bergerak mengikutinya keluar dari cafe dan masuk kedalam sebuah limosin mahal milik Ariana, gadis berambut putih digerai itupun kagum namun memasang wajah biasa saja dan dingin. Anak perempuan yang melihat kedatarannya pun mengeryitkan dahi bertanya-tanya Dimana ekspresi kagumnya?

Mereka pun masuk kedalam mobil dan bergegas menuju rumah Ariana. Didalam mobil mereka tak mengeluarkan sepatah katapun membuat suasana begitu canggung. Ariana berdehem membuat Adeline menoleh kearahnya.
 Mereka saling tatap hingga akhirnya mata anak perempuan itu sedikit membesar ketika sadar postur tubuh Adel begitu mirip dengan Almarhum ibu nya, segera ia membuang muka menutupi wajah terkejutnya.

 ‘Andai dia bukan pembunuh orang tuaku dan kakak, pasti dia sudah kuangkat menjadi Ibu tirikuitulah ucap Ariana yang berandai-andai. Setelah melihat kemiripan gadis itu dengan Ibunya difoto yang telah ia simpan puluhan tahun dalam sarung bantalnya, karena setiap malam jika ia tidak melihat wajah Ibunya pasti mimpi buruk akan menghampirinya.
 
Ariana melamun menatap jendela dan berfikir ada baiknya kalau mereka--Adeline dan kakaknya-- bertemu untuk saling bermaaf-maafan sehingga akan ada peluang untuknya membuat gadis itu menjadi Ibu angkat atau juga seseorang yang akan dekat dengannya. Ia sungguh berharap ini akan berhasil.

****
Merekapun sampai kerumah-ah ralat, sebuah istana megah yang amat memanjakan mata hitam Adeline. Pintu mobilpun dibuka oleh supir dengan badan membungkuk sopan yang menandakan kedisplinan terhadap tamu, membuat gadis itu sedikit segan namun ia segera turun mengikuti anak perempuan dengan kaos oblong berdiri menunggu Adeline didepan pintu Istana itu.

 Ikuti aku. titah Ariana

 “…”
 
 “Kenapa diam aja?, ayo ikut Ariana dengan tidak sabaran bergegas menarik pergelangan tangan Adeline paksa untuk masuk kedalam istana. Banyak pasang mata dari prajurit hingga para selir maupun pembantu lainnya menatap mereka sinis seakan menipiskan ruang gerak dengan tatapan yang begitu menusuk. Gadis itu tidak tau apa makna dibalik tatapan sinis itu sehingga dilanjutkannya kaki melangkah mengikuti Ariana.

Setiap seluk besuk isi istana telah dijelajahi oleh mata Adeline yang begitu liar setelah masuk kedalamnya, merekam segala kedetail-lannya. Seketika Ariana berhenti didepan pintu yang besar dan terbuat dari emas. Dia didalam. Jelas anak perempuan seraya melepaskan genggaman mereka dan mulai mendorong kuat pintu tersebut.
 Drrrrrrttttt-- suara derit pintu begitu menggelegar ketika dibuka Ariana.

Sejenak mereka diam, saat melihat kegelapan didalam ruangan tersebut. Ruangan apa ini? tanya Adeline. Mendengar pertanyaan itu Ariana menolah dan menjawab, Ini kamar kakakku.  Dia terlihat meneteskan bulir-bulir keringat saat mengatakan itu. Seperti ada rasa takut yang disembunyikan dari gadis bergaun emas tersebut, namun percayalah mata jeli Adeline bisa menangkap semua itu dengan jelas.

 “Kakak? panggil Ariana

 “…” namun tidak ada jawab sama sekali

 Adeline memandang Ariana dengan pertigaan didahinya.  Dimana dia?
anak perempuan itupun menghela nafas kemudian membalas pertanyaan Adeline, 
Dia didalam tapi kurasa sedang tidur karena belakangan ini terlalu banyak pekerjaan yang harus ditanganinya sendiri. Jadi kalau memang udah ga sabar mau ketemu, kau bisa tetap masuk untuk berbicara dengannya.”  tangan Ariana menunjuk kearah ruangan gelap gulita disana membuat Adeline sedikit meneguk ludah saat berfikir
 ‘Bagaimana kalau ia tidak dimaafkan?terus ‘Dibunuh karena telah membunuh’.

 “Kau yakin tidak apa-apa? Adeline ragu meski Anak perempuan itu telah mengangguk. Kalau begitu ayo kita masuk berdua.

 Eh? Ariana bingung. Kan yang punya masalah kau,kenapa aku juga harus ikut?
 Jadi aku harus sendiri nih?tanya Adeline sekali lagi dianggukin. Dia pun tanpa basa-basi lagi langsung datang menghampiri ruangan gelap itu, hingga ketika ia didalam entah mengapa jantungnya berpacu dengan cepat apalagi ditambah pintu yang sudah tertutup membuat degupan itu semakin laju lantaran kaget. Apa aku beneran bakal mati Tuhan? guman gadis itu pelan saat dirinya tidak bisa melihat apapun disana meski sudah mengerjapkan mata berulang-ulang kali.

Perlahan-lahan namun pasti langkah tetap maju tak gentar meski tangan sudah gemetaran. Ia terus kedepan hingga saat lampu menyala dan menunjukkan sesosok tinggi dan tegap disana yang membuatnya harus mendongak ketika ingin menatapnya.
  Bayangan yang menyelimuti wajah sang pemilik tubuh tinggi itu menghilang sehingga sekarang Adeline dapat leluasa memandangi wajahnya dengan puas, namun detik selanjutnya mata hitam malam gadis tersebut membulat ketika menangkap sesosok dihadapannya yang begitu membuat Adeline terkejut batin.

Yang ditatap pun sama terkejutnya. “Kau! geram orang tinggi itu seraya mengacungkan telunjuknya kearah gadis tersebut. Mendengar geramannya Adeline kembali menelan ludah bahkan kalau bisa ia ingin ditelan bumi sekalian.


Halo yang baca, mungkin cerita ini akan dihentikan jika peminatnya sedikit jadi pastikan tinggalkan komentar ya :) .


Kamu pembaca baru? Ayo ikuti alurnya dari awall klik link dibawah untuk menuju bab sebelumnya atau selanjutnya 😍
https://struggleandtrust.blogspot.com/2019/05/hallo-untuk-membaca-cerita-more-cruel_19.html?m=1

Bab 7--Definisi Menerima Dalam Hidup


Dia berdiri disana dengan air mata jatuh kedalam
tiba-tiba menatapmu penuh iba
 hatinya pun bergetar ingin memaafkan walau logika berteriak tidak
ini bukanlah kesalahan tetapi melainkan kebenaran yang dinaifkan saat harga diri sangat menjunjung tinggi.
melupakan sebuah hati yang ingin berdamai agar lekas sembuh siluka perih dihati
serta merta menghilangkan dendam kesumat yang tak kunjung usai.
|  
       Bab 7                                                 
|Definisi Menerima Dalam Hidup|


"Hahaha...kau benar-benar aneh." Ujar Emily seraya memegangi perutnya
"Diamlah dan cepat pakai."
"Pakailah , aku tidak membutuhk..."
 "Apa itu?...sebuah lambang Dewa ditengah-tengah dadamu?." Kini matanya tertuju pada sebuah lambang yang tak asing baginya, Sedangkan jantung Adeline memacu seolah-olah ia sedang berlari berkilo-kilo meter. Inilah alasannya ia benci pakai baju yang memperlihatkan lambang sialannya didada itu.
Emily mencoba menyentuhnya namun ditepis Adeline "Jangan sentuh." Ujarnya dingin
"Kau keturunan dewa?!." pekik Emily.

Suara teriakan Emily itupun mengundang mata dan telinga banyak orang membuat Adeline terpaksa membungkam mulutnya dengan tangan dan memberikan tanda untuk mengecilkan suaranya
"Sttss...tutup mulutmu!." Emilypun mengangguk iya.
"Jelaskan padaku." Titah Emily membuat lawan bicaranya menghembuskan nafas lelah
"Mari pulang dulu,nanti akan kujelaskan semuanya." Ajak Adeline.
Emily menatap ragu namun tetap mengangguk ajakannya.
 Mereka kembali kerumah dengan Taxi hingga sesampaiannya disana Adeline langsung mengunci pintu dan menarik Emily keruang tamu untuk mencari tempat yang pas buat menjelaskan segala kebohongan-kebohongannya selama seminggu ini pada wanita berkacamata digenggamannya itu.

 “Duduklah dulu.” Ujar Adeline menawarkan yang dituruti Emily, Mereka duduk saling berhadap-hadapan disofa ruang tamu
entah mengapa perasaan ini tidak asing bagi Adeline.


Adeline menarik nafas lalu menghembuskannya dengan berat seakan sedang menahan begitu banyak beban hidup
“Aku heran, sewaktu kau mengobatiku kenapa lambang ini tidak kelihatan?.” Tanya Adeline membuat Emily memutar otak menyadari kalau kemarin saat ia mengobati gadis itu, bagaimana mau kelihatan toh yang luka itu dibagian kepala dan tangan kenapa pula ia harus membuka baju gadis itu sedangkan lukanya diluar “Luka mu diluar bukan didalam jadi aku sama sekali tidak tau kalau kau mempunyai lambang itu didadamu.” Jawab Emily.

Mendengar penjelasan Emily ia pun langsung mengerti  dan mulai menceritakan siapa dirinya bahkan juga menceritakan pertemuannya dengan sibocah lelaki bermata hijau semu yang mirip dengan Ariana. Hingga sipendengarnya menjadi diam membisu terlalu menghayati jalan cerita masa lalu gadis bermata hitam itu.

“Kau membunuh mereka tanpa sadar karena sedang dikendalikan oleh Lily? Sisi lainmu itu.” Tanya Emily. “Termasuk membunuh pria buncit itu?.”Lanjutnya saat ia sudah selesai menyimak segala cerita panjang kali lebar lawan bicaranya. Adeline mengangguk mengiyakan.


  “Baiklah aku takkan menyalahkanmu atas kematian pria dan mereka karena juga ini bukanlah kemauanmu tetapi takdir yang telah menentukan dan satu hal yang harus kau lakukan…mulai sekarang belajarlah untuk tidak mengikuti kata Alter-egomu, dia adalah boomerang bagi dirimu sendiri…terlepas dari kalian yang satu tubuh, dia adalah sisi burukmu yang harus kau musnahkan keberadaannya.” Saran dari Emily membuat gadis itu tertegun sadar kalau semua ucapan itu benar apa adanya tentang Alter-ego—Lily yang seringkali menjebaknya dalam ribuan masalah.

Adeline bungkam dan menatap kakinya yang sudah memerah akibat memakai heels merah Emily karena sedari tadi ia sudah banyak terplekok namun ditahankannya demi memperindah kaki jenjangnya dan dilihat oleh tamu-tamu dibar beberapa saat lalu. Entah mengapa saat ini ia takut wanita berkacamata itu mengusirnya lalu jika itu terjadi lantas dimana ia akan tidur dan bernaung?.

  Emily kembali membuka suara, “Tak apa tenanglah aku takkan mengusirmu meskipun tau tentang identitas aslimu, hanya saja aku tidak percaya keturunan dewa sepertimu masih ada sampai sekarang.” Ia berjalan mendekati Adeline dan memeluknya seakan ingin mengurangi beban hidup gadis itu dengan memberikan sebuah dekapan hangat.
“Emily?.” Panggilnya pelan disela-sela pelukan
“Iya Adel?.”
Jemari gadis itu meremas kaos hitam Emily dan mulai terisak “Kenapa kau begitu baik? padaku?.”. Mendengar itu Emily tersenyum tipis dan menatap sendu perapian yang sedari tadi menghangatkan mereka, “Kau tanya kenapa?.” Ucapnya memberi jeda. “Karena kehadiran mu mengingatkan ku pada guruku dulu, ia dicampakkan oleh keluarganya sendiri karena memiliki darah penyihir yang dia dapatkan dari kakeknya, Kekuatan sihirnya benar-benar hebat tapi mengerikan sehingga keluarganya sendiri takut padanya kemudian mengusirnya…kalian punya nasib yang sama jadi bagaimana bisa kuabaikan dirimu? Apalagi sikap datar namun lembut itu benar-benar sama…kau bagai reinkarnasinya.” Wanita berkacamata tersebut melepas kacamatanya dan mengelap bulir-bulir yang berjatuhan disana setelah ia menjelaskan alasan mengapa dirinya begitu peduli pada Adeline.


     Gadis yang mendengar semua penuturan Emily kini melepas pelukannya kemudian menatap wanita didepannya dengan mata berkaca-kaca lalu ia memberikan sebuah hal tak terduga yaitu

Senyuman paling bahagia yang tak pernah ia berikan pada siapapun,
 Mendapati senyuman itu hati Emily sungguh merasa hangat. –Seharusnya anak ini harus lebih rajin tersenyum seperti sekarang—Ucap Emily dalam hati.
“Ada lagi yang mau kau tanyakan?.” Tawar Emily dijawab anggukan Adel. “Apa kau mengingat Riana?.”
“Iya aku ingat,kenapa?.”
 “Matanya…mata…nya mirip dengan bocah itu.” Ucapnya terbata-bata membuat Emily memutar otak mengingat sesuatu.
“Mungkin dia adiknya.” Ucap Emily menimbulkan kerutan didahi Adel. “Adiknya?.” Emily mengangguk membenarkan.
“Karena Riana mempunyai seorang kakak laki-laki 3 tahun diatas mu bisa jadi itu diakan?.” Ujar Emily seraya mengidikkan kedua bahunya.
“Emily!.” Panggil Adeline. “Dimana aku bisa menemuinya?.”.
“Apa yang mau kau lakukan?.” Tanya balik Emily padanya. “Tentu saja ingin meminta maaf.”
Mendengarnya membuat wanita berambut pendek itu menghela nafas, “Percuma aja karena rumah besarnya dijaga ketat jadi tidak boleh sembarang masuk kesana.”. Adeline memincingkan mata “Bagaimana kau tau?.”


Emily menepuk jidatnya “Aku lupa memberitahumu kalau mereka adalah Putra dan Putri mahkota kerajaan Admeta makanya aku bisa tau tentang mereka jadi tentunya sangat sulit untuk ditemui bahkan pertemuanmu dengannya kemarin adalah keberuntungan.” Jelas Emily lalu terdiam sejenak memberikan jeda pada ucapannya yang akan berlanjut
“Ahh atau tidak juga hahaha…karena Riana sering berkunjung diCafe Green jadi akan mudah untuk kita menemuinya dan memintanya melakukan Se…su…a..tu...” Sehabis Emily mengatakan itu sebuah senyum atau lebih tepatnya seringaian licik bertepak manis diwajahnya menghilangkan kesan cantik yang digantikan mengerikan. Melihat itu entah mengapa bulu kuduk Adeline berdiri semua.

“Sesuatu?.”

|
|
|
|At different place|

Seorang anak kecil perempuan sedang berjalan lemas menuju Green Café diujung sana, dengan kakinya yang serasa ingin lepas dari tubuh namun tak kunjung terlepas jua, wajah cantiknya terlihat sangat lelah saat mengendong tas sekolah yang berat berisikan buku-buku tebal didalamnya.
  Kali ini seperti biasa tanpa pengawal ia kembali kecafe itu untuk menghilangkan capek raga dan batin setelah seharian penuh dikuras oleh sekolahannya tanpa ampun ataupun belas kasih. Ia benar-benar butuh refreshing sejenak dicafe itu.

Pintu café terbuka dan terdengarlah suara lonceng tamunya mengisi ruangan sepi itu hanya ada dua pelayannya disana tanpa ada pengunjung membuat hatinya bersorak gembira karena kalau ia memesan makanan pasti datangnya akan cepat.
 “Pelayan!.” Panggilnya
tak butuh waktu lama pelayan itu datang dengan membawakan menu “Pesen apa Riana?.” Suara datar namun lembut menyapa telinga Riana membuatnya terkejut saat menyadari kalau ternyata Adelinelah yang sedang melayaninya. Entah mengapa ia menjadi gugup
“O…Om…tch! Omelet saja dan minumannya green tea hangat.” Ucapnya bersalahan hingga menimbulkan rona merah dipipi putihnya. Dia malu.

    Melihat itu Adeline terkekeh pelan membuat Riana benar-benar terkesiap saat mendengar suara tawa Adeline begitu merdu dan halus –Apa dia sudah belajar cara nya tertawa dan bereksrepsi?—itulah pertanyaan dibenak Riana sedari tadi.
    “Tenang aku takkan membunuhmu, jadi jangan gagap seperti itu.”
 Rasa kagum yang sempat menghinggapi hati Riana tiba-tiba menghilang begitu saja saat mendengar kalimat mengerikan itu,“Apa maksudmu?.” Tanyanya namun tak terjawab saat Adel pergi kearah dapur seraya membawa pesanannya.

Sungguh kini kepalanya yang sudah pusing sekarang makin pusing saat mendengar ucapan Adel, Bahkan kini tidak bisa lagi berfikir jernih. Dia duduk dimeja sambil memijat dahi berusaha mengurangi rasa sakit dikepalanya. 


Entah sudah berapa lama dipijatnya area dahi dan pangkal hidung sehingga tampak memerah seperti orang masuk angin membuat seseorang dihadapan tertawa lucu lantaran sedari tadi sudah disana sambil meletakkan pesanan Riana dan menikmati ekspresi sakit kepala sianak perempuan tersebut. “Hahaha, apa kau seorang badut?” ejek Adeline

Mendengar itu hati Riana merasa jengkel seketika “Tutup mulutmu!” titahnya namun diabaikan Adeline yang kini tertawa semakin deras “Hahaha, oke baiklah aku akan berhenti bila kita bisa berbicara sebentar.” Tawar gadis berambut putih itu membuat Riana memincingkan mata mencoba menduga apa yang diinginkan oleh gadis didepannya ini.


“To the point, what do you want?”
“Aku Cuma mau kau jujur tentang tujuanmu sebenarnya.”
Jawab Adeline sontak membuat Riana tercengang namun ditutupinya dengan wajah datar “Apa maksudmu?” tanya berpura-pura. “Cih!, Jangan mencoba untuk mempermainkanku bocah!”.
belum sempat ia menggelak lagi, Adeline sudah kembali memotong
“Aku tau siapa dirimu,matamu tidak asing bagiku. Jujurlah Riana kalau kau adalah salah satu korbanku kan?. Yang pernah aku bunuh orang tuannya” Gadis itu mengucapkan hal tersebut dengan nada intimidasi yang sangat mengerikan bahkan membuat udara diseluruh ruangan café ini telah habis sehingga menyulitkan Riana untuk bernafas.
“Ka… “ ucapan Riana lagi-lagi terpotong. “Aku takkan menyakitimu jika kau mau mempertemukanku dengan kakak laki-lakimu.”
Riana diam tak bergeming memikirkan sesuatu hal yang mungkin sangat buruk jika ia mempertemukan mereka
“Apa yang mau kau lakukan?” tanya Riana penasaran. “Bukan urusanmu.”
Sungguh mendengar jawaban Adeline, rasa jengkel dihati Riana semakin bertambah apalagi saat melihat ekspresi senyum tak dapat diartikan sedang berhadapan dengannya. 


Adeline menghela nafas ketika ia bisa melihat sorot mata ketakutan ditatapan Riana “Aku hanya ingin minta maaf.” Ujarnya berusaha menyakinkan. “Hanya itu?” tanya Riana. “Iya hanya itu.”

Tanpa menimbang-nimbang lagi akhirnya Riana mensetujui permintaan Adeline dan berjanji akan membawanya besok kerumah untuk saling mempertemukan dua insan yang saling mencari satu sama lain dengan tujuan yang berbeda tersebut.

    Ia tidak akan pernah menyangka hal buruk apa yang akan menimpanya besok, terpenting sekarang Riana hanya bisa berdoa semoga mereka bisa meredam dendam lalu memilih berdamai saja agar bisa belajar hidup bahagia tanpa ber-iringan dengan Dendam.

Sedangkan wanita berkacamata menatap Riana instens lantaran entah mengapa wajahnya sangat familiar dengan seseorang yang pernah hadir dikehidupannya. Terlalu focus terhadap objek diujung sana membuatnya terkejut saat tepukan bahu pelan menyapanya “Hey!,Pamali ih melamun depan pintu…ngintilin siapa  sih?” ucap seorang pelayan laki-laki tak lain teman seperkerjaan dengan Emily. “Ish!kebiasaan!suka kali ngagetin orang. Cabut sana Joe” usirnya kepada pria bernama Joe itu namun diabaikan.

“Eh! Mel! Kau bayar berapa Bos?sampai mau minjemin cafenya buat acara basa-basi gini doang” tanya Joe yang ternyata alasan café tersebut sepi karena sudah dipesan dan diatur oleh Emily. “Bukan rusanmu!” setelah mengucapkan itu ia pergi meninggalkan Joe yang menatapnya kesal karena tidak dijawab pertanyaannya.



"Ternyata berhasil." gumamnya seraya tersenyum miring.



Disisi lain otak Adeline sedang bekerja memikirkan cara agar malam ini dia bisa bertemu dengan seseorang yang akan ia minta tolong-ngi untuk membantunya melancarkan sebuah susunan rencana yang sudah dia buat dalam otaknya. Jangan tanya bagaimana bisa gadis itu mengingatnya karena sangat mustahil untuk menjelaskannya. Hanya dia dan tuhan yang dapat menjelaskan.

Gadis itu berjalan mendekati Emily yang sedang mencuci piring didapur. “Emily?” panggilnya.
“Iya Del?” sahut Emily 
“Aku mau keluar sebentar nanti malam untuk mencari angin.” Ungkap Adeline dianggukin wanita berkacamata itu. “Yasudah,tapi ingat!jangan,pulang malam-malam” ingat Emily pada gadis itu.
dia tidak mau Adeline dalam masalah lagi sudah cukup kemarin-kemarin saja.
“Baiklah.”

Gadis itu kembali lagi kedepan untuk menutup cafenya setelah Riana pulang karena sebenarnya Emily sudah menyewa café itu sehari hanya demi menjalankan rencananya semalam jadi jika semua sudah selesai mereka akan menutup café dan berisitirahat. Jarang-jarang bisa istirahat secepat ini.

Atau akan lebih sering karena mengingat dia sudah tak lagi bekerja dibar itu. 
|Flasback--|
|
|
|
“Ahh atau tidak juga hahaha…karena Riana sering berkunjung diCafe Green jadi akan mudah untuk kita menemuinya dan memintanya melakukan Se…su…a..tu...” Sehabis Emily mengatakan itu sebuah senyum atau lebih tepatnya seringaian licik bertepak manis diwajahnya menghilangkan kesan cantik yang digantikan mengerikan. Melihat itu entah mengapa bulu kuduk Adeline berdiri semua.



“Sesuatu?” tanya Adeline 

Emily menautkan kedua telapak tangannya dan meletakkan dagunya disitu seraya tersenyum dan mulai menjelaskan rencananya. “Aku ingin kau mengertak Riana besok. Buat dia seolah tersudutkan dan mulai merasa takut dengan sikap barumu,lalu setelah dia takut kau cobalah untuk memaksanya menjelaskan semua rencananya dengan bilang kalau kau tau bahwa Riana dan kakak laki-lakinya adalah korbanmu.” Emily menatap lurus dan kembali melanjutkan ucapannya. “Disitu dia akan merasa ragu tapi jika kau memintanya untuk mempertemukanmu dengan kakaknya pasti dia akan melakukan hal tersebut.”

Adeline menyimak dengan baik namun ada beberapa hal yang ia bingungkan. “Sikap baru? Dan mengapa kau sangat yakin dia akan mau melakukan hal itu?” Adeline menatap lawan bicaranya meminta sebuah penjelasan lebih detail.

  “Tentu saja dia akan melakukan itu karena kau adalah pelaku yang ingin meminta maaf,naluri adik yang ingin kakaknya hidup damai pasti ada makanya dia akan mempertemukan kalian dan mencoba menghentikan dendam lama itu.” Jelas Emily panjang lebar dan masih berkelanjutan. “Untuk itu kubutuhkan ekspresi agar ia makin percaya kalau kau tulus ingin meminta maaf. Jika kau mengatakan ingin minta maaf dengan wajah datar dan dingin seperti itu maka aku percaya Riana akan mengabaikan permintaanmu.”

--Ekspresi?bahkan kemarin aku mencoba senyum  saja hasilnya mengerikan apalagi dengan macam-macam ekspresi lainnya sungguh tak terbayang—tutur Adeline dalam hati.

“Kau pasti bercanda soal ekspresi.” Sergah Adeline tetapi digelengi oleh wanita bernetra hijau itu tandanya ia tidak sedang bercanda. “Malam ini akan kulatih kau caranya tersenyum dan ekspresi lainnya.” Mata Emily begitu berbinar tak sabar menanti wajah cantik gadis itu saat menggunakan ekspresi lain selain datar dan dinginnya. –Pasti sangat cantik—serunya dalam hati.



Dan benar saja semalaman penuh mereka berlatih bahkan Emily yang awalnya antusias kini mulai menyerah, begitu ia merasa kesusahan mengajari Adeline untuk tersenyum,Smirk,tertawa, dan sedih. 

--terbuat dari apa wajah anak ini sampai segitu kakunya dalam menunjukkan mimic wajah—keluh Emily dalam hati.

Tbc~


Up insyallah setiap hari sabtu-minggu❤

Kontak Penulis

Contact Us

Diberdayakan oleh Blogger.